Pengembangan diri dan berfikir apresiatif


Pembicaraan Anda membantu menciptakan dunia Anda. Berbicaralah tentang kebahagiaan, bukan ketidakpuasan. Berbicaralah tentang harapan, bukan keputusasaan. Biarkan kata-kata Anda membalut luka, bukan menyebabkannya (William Martin, penafsir modern kitab Tao Te Ching).   

Penulis mengutip kalimat dimuka dari buku Appreciative Inquiry yang ditulis oleh duet Diana Whitney & Amanda Trosten[1]. Satu hal, apakah kita merasa tulisan dimuka menyindiri diri kita? Mungkin ya mungkin tidak. Namun hal yang perlu ditekankan adalah bahwa dunia disekitar kita (akhir-akhir ini) terlalu terfokus pada nuansa negatif/keputuasaan/ketidakpuasan (wacana defisit). Terlalu banyak perbincangan yang mengarah ke area negatif. Para komentator politik misalnya, terlalu sering membicarakan sisi negatif dari partai/pemimpin yang menjadi objek bahasan. Mahasiswa, terlalu kerap membahas masalah sulitnya mata pelajaran, betapa tidak menyenangkannya cara dosen X mengajar, betapa kurangnya fasilitas kampus, betapa banyaknya tugas yang harus dikerjakan dan lain-lain. Keluarga-kelurga di meja makan, terlalu sering membahas masalah kesulitan ekonomi, anak yang tidak mau belajar, harga sayur yang membumbung, dan lain sebagainya. Karyawan kantor hampir selalu membaha rendahnya upah mereka, betapa tidak adilnya bos mereka, betapa beruntungnya kerja di perusahaan lain dan lain-lain. Sehingga se-positif apapun kita, jika setiap hari dibombardir seperti itu, akan sulit sekali melepaskan diri dari nuansa negatif dan wacana defisit itu.
Merujuk pada tulisan dimuka, maka kita akan dapat menemukan satu kalimat yang menarik, yaitu; pembicaraan Anda membantu menciptakan dunia Anda. Haruskah kita percaya dengan pernyataan tersebut? Tentu saja terserah masing-masing. Namun mari kita lihat sejarah. Ada banyak orator ulung dunia yang mengubah dunia dengan kata-katanya. Bung Karno adalah salah satu tokoh yang mampu menginspirasi rakyat Indonesa akan hak-hak atas kemerdekaan. Tentu masih banyak tokoh lain, Mahatma Gandi, Martin Luther King, John F. Kennedy dan seterusnya. Apa yang mereka lakukan? Mereka mengubah dunianya sendiri dan lingkungan sekitarnya dengan pemilihan kata-kata yang paling aspiratif. Bisakah mereka berbuat sebaliknya? Mungkin saja bisa, karena justru hal tersebut lebih mudah. Namun, dengan keyakinannya atas visi yang lebih besar, mereka memilih untuk menginspirasi dirinya sendiri dan orang banyak. Dengan sengaja, mereka memilih kata-kata yang membangkitkan semangat, mendorong daya juang, meledakkan potensi dan meletakkan pikiran apresiatif di tempat yang benar.
Sekarang, mari kita tanya pada diri sendiri. Benarkan kata-kata dapat mengubah diri kita? Mungkin pertanyaan ini tidak usah dijawab. Namun pernahkan emosi atau antusiasme kita berubah setelah kita membaca kata-kata yang bagus dari sebuah buku? Pastinya pernah. Artinya, kata-kata memang mengandung mejik.  Biasanya kita tergugah ketika kisah/bacaan tersebut mendorong kita untuk berpikir lebih positif. Berbagai penelitian psikologi menyimpulkan bahwa manusia yang selalu berpikir positif, hidupnya akan jauh lebih sehat dan bahagia. Apa makna berpikir positif? Yaitu membuang/mengganti pikiran/perasaaan negatif menjadi pikiran/perasaan yang positif. Sederhana, namun tidak selalu mudah untuk dilakukan. Namun, perkembangan kajian psikologis, saat ini telah melampui batas-batas itu. Kita, tidak lagi sekedar diajak untuk berpikir positif, namun lebih jauh lagi, yaitu berpikir apresiatif. Artinya, kita harus apresiatif terhadap berbagai kisah/aspek kehidupan manusia. Apresiatif berarti menghargai, memberi nilai tambah, mengambil pelajaran. Praktik apresiatif akan membuat kita menjadi mahluk yang menghargai segala sesuatunya, termasuk menghargai hal-hal kecil di sekeliling kita. Dan, dengan berpikir apresiatif, kita tidak hanya akan mengubah yang negatif menjadi positif, namun kita akan belajar menghargai apa yang sudah kita miliki/kita capai. Kita akan terdorong untuk melihat, apa yang sebenarnya saya miliki, atau ada ada dibalik segala pencapaian kita (walaupun belum maksimal) dan bukan sebaliknya, berusaha mengorek luka lama yang menyebabkan kegagalan kita. Berpikir apresiatif adalah meningkatkan yang sudah ada alih-alih mengoreksi kesalahan. Atau menyuburkan dan menyehatkan tanah yang belum ditanami, alih-alih menyemprot dengan pestisida untuk menghilangkan hama. Mendorong gaya hidup sehat, alih-alih mengobati penyakit dengan berbagai cara. Sekali lagi, meningkatkan yang sudah ada, bukan mengoreksi kesalahan.
Agar menjadi lebih jelas penulis akan mengutip tulisan dari Diana Whitney & Amanda Trosten tentang berpikir apresiatif sebagai berikut: berpikir apresiatif bukan berarti menafikan apa yang negatif. Bukan membutakan diri terhadap kelemahan. Bukan tidak mengakui kekurangan. Setiap orang pasti pernah salah. Setiap keluarga pasti punya aib. Setiap organisasi pasti pernah mengalami kegagalan. Maka, berpikir apresiatif adalah upaya menghargai apa yang ada pada diri kita, mengambil hikmah dari setiap kejadian yang kita lalui. Melalui berpikir apresiasi, kita diajak untuk lebih fokus pada apa yang terbaik dari manusia dan sistem manusia, apa yang memberi nafas pada kehidupan.  Contoh, jika Anda adalah seorang mahasiswa yang belum memiliki IPK seperti yang dicita-citakan, maka tidak harus untuk selalu melihat dimana masalahnya, sebaliknya Anda perlu menghargai semangat Anda sendiri. Hargai bahwa sampai saat ini Anda masih punya semangat tinggi untuk mencapai IPK impian tersebut. Mencoba mengorek apa kesalalah yang telah dilakukan, seringkali justru membuka luka lama dan menurunkan motivasi. Sebaliknya, fokus pada apa yang telah dimiliki yaitu semangat, antusiasme, kemampuan memahami pelajaran, teman-teman yang mendukung, lingkungan belajar yang kondusif dan lain-lain, pada gilirannya justru akan menambah motivasi. Jadikan angka IPK yang sudah diraih sebagai gelas setengah isi, bukan setengah kosong. Sehingga kita akan termotivasi untuk mengisinya lebih lanjut, bukan malah mengorek-ngorek luka dan mencari sumber masalah mengapa gelas tersebut hampir kosong.
Berdasarkan uraian dimuka, kita dapat mengatakan bahwa pemilihan kata/kalimat/pertanyaaan, dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan. Ingat, pilihlah kata-kata yang menginspirasi. Hal ini perlu dilakukan, karena sebenarnya kita sudah sangat tau bahwa kata-kata mampu mengubah dunia kita. Hanya, yang belum dilakukan adalah, kita belum menjadikan kata-kata inspiratif sebagai ritual diri. Mengapa? Karena di lingkungan sekitar kita sudah terlalu banyak kata-kata negatif. Jadi, sudah saatnya bagi kita untuk serius dalam memiliih kata-kata, terutama jika dikaitkan dengan diri sendiri. 

Apabila kita coba menengok kedalam agama kita, bukankah Islam mengajarkan kita untuk berkata-kata dengan baik, atau kalau tidak lebih baik diam saja? Jadi, mari mulai memilih kata-kata yang membentuk dunia yang akan kita jalani sehari-hari. Ingat, kata-kata kita membentuk dunia. Dan satu hal lagi, ternyata dari empat belas abad yang lalu, Al Qur’an yang agung telah mengajarkan kita untuk berpikir apresiatif (yaitu selalu mencari hikmah dari kisah inspitatif).  Mengapa kita baru mengetahuinya sekarang? Mungkin selama ini Qur’an yang dimiliki hanya dijadikan hiasan dinding, jarang dibaca dan jarang dikaji. Ingat, bahwa terdapat banyak sekali kisah inspiratif dan penuh hikmah dalamnya. Artinya, wacana untuk berpikir apresiatif –dan tidak hanya berpikir positif- sudah ada sejak ratusan tahun. Lalu, kemana saja kita?
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Pengembangan diri dan berfikir apresiatif"

Posting Komentar